Rss Feed

ShoutMix chat widget

Mau seperti ini?
Click aja disini---> Kumpulan Blog Tutorials

Dilema (Maha)Siswa


Keinginan banyak siswa adalah tetap menjadi siswa. Lantas kemudian menjadi mahasiswa. Pernyataan ini terbukti. Bukankah setiap tahun terjadi regenerasi di berbagai jenjang pendidikan melalui penerimaan siswa baru pun juga penerimaan (maha)siswa baru. Seleksi ujian masuk perguruan tinggi membuat birokrasi dan administrasi berada pada masa paling sibuk di bulan-bulan ini. Baik itu kampus kecil yang entah ada di dekat gang rumah siapa, maupun kampus dengan nama besar yang begitu dikenal dari desa pelosok sampai belahan dunia. Mereka semua tentu berebut bibit terbaik bangsa dengan membuka iklan, roadshow, seminar demi tercapainya misi pendidikan. Disadari atau tidak disaat yang sama semua juga berebut bibit terbesar pemasukan kantong universitas. Kita tahu kini biaya mahal adalah syarat utama mewujudkan keinginan menjadi maha. Sepakat?

Bagi sebagian kaum, untuk mewujudkan keinginan ini mereka hanya perlu tidur di malam hari. Jika beruntung bisa saja tiba-tiba ia berada di ruang kelas yang berisi sekian puluh mahasiswa membahas kontrak kuliah pada pertemuan pertama. Lantas di pagi hari ia terbangun dan menjadi linglung atas jalan mana yang harus ia tempuh untuk meraihnya? Sebab cintanya berat diongkos, berani mewujudkannya berarti berani menjadi setengah hidup; butuh perjuangan mati-matian. Bagi sebagian kaum lainnya, mewujudkan keinginan masuk perguruan tinggi, adalah semudah ia mengirim sms “sudah makan belum?” kepada pacar barunya. Begitu ringan, cepat dan menyenangkan. Dua potret yang berbeda memang.

Pribadi menyenangkan dengan prestasi gemilang seringkali membuatnya tetap harus bertopang dagu. Hal ini disebabkan status tidak berpunya merebut kemerdekaannya untuk memilih jurusan dan universitas yang ia inginkan. Bukankah ada beasiswa? Sudah menjadi rahasia umum bangsa, bahwasannya pengejar beasiswa di Indonesia sudah terlampau banyak dan dengan syarat-ketentuan berlaku. Kompetisi untuk meraih beasiswa bisa jadi sama tingginya dengan kompetisi seleksi masuk jurusan kedokteran universitas terfavorit (jurusan yang bisa dikatakan jurusan sejuta umat di Indonesia). Kita ketahui bersama, tingkat perekonomian dengan status sosial dibawah rata-rata (sebut saja miskin) jumlahnya juga masih terlampau banyak. Ini berarti kompetisi antara satu anak tidak berpunya dengan ratusan anak tidak berpunya lainnya, masih sangat besar. Sebab kita tahu, jika orang kaya saling sikut antar orang kaya, maka orang miskin juga sikut-menyikut dengan sesamanya. Lantas, kemana sisa puluhan anak tidak berpunya yang tertolak beasiswa? Entah.

Padahal dalam budaya kita disertai pandangan pendidikan karakter, apa akhir sebuah jenjang pendidikan selain “ijazah”? Banyak mahasiswa yang hanya bergerilya dari satu tugas ke tugas lain lantas kemudian dilupakan, sebab ia juga lupa atau sengaja melupakan esensi dari kata belajar. Tidak heran bagaimana ia bisa lupa hakekat belajar, sebab pikirannya hanya terfokus bagaimana caranya modal yang dikeluarkan bisa kembali lagi dengan bekerja. Anggapan umum setelah lulus dan memiliki gelar sarjana adalah bekerja, dengan selayak-layaknya pekerjaan demi tertebusnya “hutang biaya masuk kuliah” kepada orangtua. Hingga begitu stress ketika mendapati dirinya menganggur tanpa pasti. Jika seperti ini, maka ia tidak ubahnya hanya seorang siswa semata, bukan mahasiswa. Siswa yang memiliki gelar maha yang berarti “paling/diatas/tinggi” serta berkesan superior dan “paling tahu” sepatutnya memang lebih tahu dibandingkan mereka yang masih bergelar “siswa”. Baik lebih tahu akan ilmu atau menempatkan dirinya. Semisal, jika memang harus berbakti maka berbaktilah, itu perintah Tuhan, bukan semata-mata sebab “hutang-piutang” di dunia.

Bahwasannya, menuntut ilmu bukan semata-mata jurusan atau nama besar suatu universitas. Sebab bukankah mereka yang bersekolah di alam terbuka, homeschooling, bahkan pesantren juga melakukan proses belajar mengajar. Lantas apa yang membedakan atau menyamakan satu sistem dengan sistem yang lain? Jawabannya adalah keutuhan diri dalam menjalaninya. Ialah yang menyamakan sekaligus membedakan “siapa lulusan apa” “siapa dari universitas apa” “siapa ber-ipk berapa” antara satu dan lainnya. Ia-lah yang menjadi kunci bagaimana seharusnya hidup dijalani untuk mendapatkan pembelajaran yang paling sejati.
____
Intelectual play. still learning.

0 komentar:

Posting Komentar

akan menyenangkan jika kamu mau menulis pendapatmu xD -ve_isyaasya-