Rss Feed

ShoutMix chat widget

Mau seperti ini?
Click aja disini---> Kumpulan Blog Tutorials

SMA; Siap Menjadi Aku

“SMA; Siap Menjadi Aku!”

Kuikat simpul tali sepatu hitamku. Menarik tas biru laut yang mulai pudar warnanya, termakan usia. Kuhiraukan seruan ibu yang memintaku menanggalkan tas itu dan menggantinya dengan tas merah marun, yang tampak sedikit bagus, dari balik pintu berlapis tripleks tua yang bila dibuka akan berdenyit ngilu, dan kayu ditepiannya mulai hancur digerogoti kutu-kutu kayu.

Kucium tangan wanita itu, kembali kurasakan goresan-goresan kasar di telapak tangannya, goresan-goresan yang semakin kasar setiap harinya, seakan Tuhan membiarkan perjalan hidup yang penuh ketidakadilan terukir dan tercurah disana. Kutatap wajah yang tampak lebih tua dari usianya, penuh peluh, dan kecewa. Kali ini wajah itu sedikit berseri dan penuh harap, dan kutahu mengapa. Diserahkannya sebuah kotak bekal yang isinya tak lebih dari dadar telur dan nasi. Kunaiki sepeda bututku, pemberian pamanku, bekasnya menarik becak. Aku menoleh, menatapnya dalam diam, matanya menelisik aku yakin dia dapat membaca pikiranku, hatiku kelu. Ibu menepuk-tepuk pundak-ku, membuatku merasa membawa dua bukit besar harapan dipundakku, kuucapkan ”Assalamualaikum,” dengan pelan, lalu beranjak pergi.


Ku kayuh sepedaku, dibuai bayu dini hari. Matahari rendah menyibakkan warna jingga-jingga lembut yang mengusir gelap gulita. Remang-remang semakin menghilang, semburat ultraviolet seakan menari indah di mataku. Malam-malam terdahulu sebelum pagi ini entah kenapa aku merasa bergelora, aku merasa telah dewasa, rok abu-abu, bekas Rosalin, tetanggaku telah menyulut semangatku, bayangan sekolah yang kini sedang kutuju menghantuiku, menikmati pendidikan yang akan kukecap, merasakan masa-masa yang kata orang adalah masa-masa terindah.

Namun pagi ini, kurasa dada ini sesak, yang terkurung, terperangkap, tertindih penuh tanya.

Gadis di bawah pohon itu tersenyum lebar, seperti biasa dia menantiku. Kali ini, aku tak bersemangat menghampirinya, aku tak ingin dia tau perasaanku, tapi.. saat melihat matanya yang mirip dengan mataku itu, aku tau dia tahu perasaanku, dan dia selalu tahu segalanya.

Seperti saat kita terlelap, kita tak pernah tahu kapan tepatnya. Begitu juga aku tak tahu kapan aku mengenalnya. Gadis itu tersenyum lebar, persis seperti senyumku, rambutnya dikuncir, seperti rambutku, seperti hari-hari sebelumnya, sejak berbulan-bulan yang lalu, sejak dulu, dia selalu mengikuti gaya rambutku. Tapi sebenarnya, tidak hanya rambutku, saat aku tumbuh dari kehari ke hari, dia-pun tumbuh dari hari kehari persis sepertiku, tinggi kami selalu sama, tak ada yang lebih berat atau ringan, rambut kami sama panjangnya, kulit kami sawo matang. Namun tidak hanya fisik saja, saat beberapa teman sekolah dasarku mendorongku dan lututku terluka ketika aku tidak boleh main bersama mereka, entah kenapa saat pulang sekolah dia menungguku dengan lutut yang juga di perban sama sepertiku. Saat SMP, ketika pertama kali aku menemukan bercak merah dicelanaku, dan ibu mengatakan aku mendapatkan menstruasi, pada hari itu saat aku meringis kesakitan di ranjang kamarku, dia datang tiba-tiba dan mengatakan bahwa dia juga sedang menstruasi, saat dadaku mulai membesar, dadanya-pun begitu. Saat kumenceritakan tentang cowok yang kusukai, dia menanggapinya seakan dia juga sedang jatuh cinta. Dan aku tak peduli dengan apa yang dia lakukan, tumbuh sepertiku, meniruku, mengikuti gerak-gerikku, memplagiatku, atau apalah aku tak peduli, yang aku pedulikan, jika tak ada dia, maka aku tak punya teman.

Dan dia teman yang selalu lebih kuat dan lebih realistis, yang seringnya aku campakkan pikirannya.

Dan dia adalah teman yang selalu tahu segalanya.

”Jangan kau anggap hari ini membebanimu Lana” ujarnya. Aku diam, mengayuhkan sepedaku, memboncenginya, seperti hari-hari yang lalu, sejak dulu. Takkan aku akui perkataannya, aku tahu aku keras kepala, aku ingin membuat hari ini indah, walau hatiku mengelak, dan berkata aku membawa beban yang berat dipundakku kini.

”Kau takut Lana? Kau takut pada dunia?”
”Aku tidak takut,” Elakku.
"Tersenyumlah Lana, dunia takkan membunuhmu dengan cepat jika kamu berjuang,'
"Perjuangan apa yang bisa kulakukan? Seorang anak miskin dari pinggiran kota dengan ibu tua yang bekerja sebagai tukang cuci pakaian?"
"Banyak Lana,"
"Lupakan, tidak ada yang perlu diperjuangkan, dunia menutup mata untuk kaum sepertiku,"
Dia diam beberapa saat.
”Tidakkah kau cukup yakin bahwa aku telah menjadi bagian hidupmu?”
Aku diam.
"Tidakkah kau percaya padaku?" Aku tidak mengerti kemana arah bicaranya,
"Mempercayaimu hanya membuatku malu,"
"Kamu takkan pernah malu Lana, kamu hanya mengelak, bersembunyi, dan menutup mata telingamu,"
"Untuk apa? Toh kita ini hidup dalam dunia nyata, dan kenyataannya dunia juga menutup mata, dunia tidak pernah adil,"
"Dunia memang tak pernah adil Lana, tapi dunia juga memiliki banyak kesempatan,"
"Untuk siapa? Orang kaya? Ya tentu saja harapan mereka berlimpah.." Sindirku, sambil mengayuh sepedaku.

”Jangan menyembunyikan perasaanmu,”
”Kau selalu tau segalanya, kenapa kini aku harus mengucapkannya padamu?”
"Agar kamu bisa mendengar pendapatku,"
Aku diam.
”Apakah dengan diam kau akan menemukan jawaban?”
Aku kembali diam. Dia-pun diam. Tak ada yang berbicara. Entah apa yang harus aku katakan. Aku membencinya sekaligus membutuhkannya.
”Siapa yang peduli dengan jawabanku?”
”Bukan masalah siapa yang akan peduli, tapi apa yang akan kau cari? Tapi apa yang harus kau putuskan untuk mengukir jalanmu."
"Omong kosong,"
"Tidakkah kau tau Lana, lihatlah dia. Kamu mengetahui ceritanya kan?" Dia menunjuk seorang gadis kecil di ujung jalan sana membawa satu keranjang kerupuk. Ya, gadis kecil yang malang, ditinggal mati ayah-nya, ditelantarkan ibunya tinggal bersama nenek tua renta. Gadis bisu yang putus sekolah, ketika pagi jika tidak berkeliling kompleks menjual kerupuk, dia berjualan koran.
"Tidakkah kau lebih beruntung?"
"Jika aku merasa sedikit beruntung lalu kenapa? Dunia tetap saja buta,"
”Dia bisu Lana,” Gadis itu menjawab seakan tahu isi pikiran-ku, ”Tapi hatinya tak bisu, dia adalah gadis bisu yang ramah, matanya menceritakan segalanya, dia mencari sesuatu Lana, dia mencari arti hidupnya, dia tidak diam Lana, tidak sepertimu, dia berjuang.”

Aku diam, dadaku bergejolak. Aku marah, apa maksudnya? Dia pikir aku tidak berjuang? Aku berjuang melawan perasaanku sekarang!

”Lantas apa yang harus aku lakukan? Mengumbar-umbarkan masalahku?”
"Kenapa kamu menjadi keras kepala Lana? Pemberontakanmu membuatku terhenyak,"
"Karena aku muak, itu saja. Aku ingin bebas!"
Lana, tidakkah kau ingat.. hidup kita sudah terkontrak pada Tuhan, pantaskah kita meminta kebebasan dan melepas segala aturan-Nya?" Kami menghela nafas panjang, "Lana, kini 17 tahun sudah kamu di dunia, pantaskah kamu terus mencaci dunia ini? Dengarlah Lana, dunia ini tidak bisa sedikitpun melukaimu, kecuali dirimu sendiri,"

Aku mengayuh. Aku diam. Dan aku muak.

Sekolah di depan mataku, memasukinya bagai memasuki penjara batin. Setiap siswa memiliki tas bagus, pensil dan penghapus bermerk. Sedangkan aku tas pasar, penghapus seharga Rp.500 perak, pensil murahan. Dan tanpa uang saku. Dan aku mendengar teman-ku berbisik, "Tidak mengapa Lana, rejeki kita memang berbeda, teruslah berjuang," Aku menutup telinga, sejak dulu aku mendengarnya dan itu tetap tidak membuat sepatu bututku jadi baru.

Aku mengikuti upacara dengan teman-teman yang kukenal namun teramat asing. Aku duduk sendiri, lalu seorang gadis menghampiriku, sepertinya dia datang terlambat. Dia tersenyum padaku, kulitnya hitam, rambutnya kriting, sedikit gemuk. Namanya Mariam dia dari Papua, dan dia jadi teman sebangkuku. Ini pertama kalinya aku mendapat teman sebangku. Sebelumnya tak ada yang ingin duduk bersamaku, tak ada yang mau dekat denganku, mereka menganggap aku aneh, mungkin karena aku banyak diam dan tidak pernah ke kantin, anak miskin.

Jam pelajaran berlalu, jam istirahat tiba. Banyak siswa keluar kelas, tapi Mariam dan aku tak beranjak. Aku tak tahu mengapa dia disini. Dan aku tidak berani bertanya. Walau temanku kembali berbisik untuk mengatakannya.
”Kenapa tidak ke kantin?” Tanyanya.
Aku menunjuk bekalku, dia hanya mengangguk-angguk kepala.
"Aku juga membawa bekal," Katanya yang membuatku sedikit tercengang, sekitar dua tahun di sekolah ini aku tidak pernah melihat seorangpun membawa bekal selain aku.
Lalu kesunyian hinggap, temanku berbisik, ”Kenapa tidak balik bertanya?” Aku diam, ”Tidakkah kau ingin tau dunia yang dia jalani? Mimpi yang dia punya? Dan sejuta cerita hidupnya?” Aku beranjak dari tempat dudukku dan keluar kelas, duduk di bangku taman sekolah, dekat lapangan basket, dia mengikutiku.

”Aku bukan wartawan atau polisi yang sedang menyelidiki untuk menyelesaikan kasus jadi untuk apa aku mencari tahu, bertanya-tanya hal seperti itu,”
”Kau memang sedang tidak menangani kasus, Lana. Tapi kau sedang membuat kasus... kasus untukmu sendiri,”
”Kasus untukku sendiri?”
”Terlalu lama kau menutup dirimu dari dunia Lana. Temukanlah dirimu disini. Ini dunia-mu. Ini masamu. Kau akan mengenang masa-masa ini, kenapa kau membiarkan keadaan merusakmu?”
”Masa-masa yang indah?” Aku tersenyum miris, benarkah? SMA? Masa-masa indah? Ya.. bagi mereka semua, bukan aku! Bagi orang yang tahu bagaimana memulai untuk berbicara, orang yang tak harus kesekolah dengan bersepeda dan membawa bekal karena tak ada uang, orang yang tidak harus membantu ibunya mencuci pakaian langganannya, menjual gorengan, mengasuh bayi orang lain, karena itu takdirku,"

Kuberjalan kembali ke kelas, sengaja kulewati kantin. Bau menyengat hidungku, menggoda seleraku, memilukan hatiku karena kenyataannya disakuku tak ada uang sepeserpun. Banyak siswa berseragam abu-abu disini sibuk memesan makanan, namun ada yang menarik perhatianku. Sekumpulan kakak senior berkumpul dalam satu meja, penampilannnya berbeda daripada umumnya, dan pakaiannya sepertinya sengaja dikecilkan dan itu terlihat keren. Kembali temanku berbisik.

”Masa-masa indah jangan kau artikan dalam satu sisi Lana, jangan dalam satu sudut pandang. Kau dapat menemukannya asal kau tak menggugat Tuhan. Kau dapat menemukannya asal kau memusatkannya. Memusatkannya pada prinsipmu, bukan pada apa yang kau gunakan atau apa yang kau punya bukan juga pada temanmu, Lana.”
”Kau membuat aku pusing? Bisakah sehari saja kau tidak mengguruiku? Jika kau terus-terusan begini, aku bisa gila!”
”Terserah!” Dan dia pergi, aku kembali ke kelasku, perlajaran setelah ini tidak ada guru jadi yang kulakukan hanya menanti bel pulang dalam diam. Aku menoleh aku melihat Mariyam menerima telepon, tapi dia tidak banyak bicara. Sedetik kemudian matanya berkaca-kaca. Air mukanya tiba-tiba berubah seperti mayat hidup. Dia menutup teleponnya dan menangis, dilengannya. "Kenapa?" Tanyaku, aku kaget mendengar diriku bicara.
"Innalilahi wainailaihi rajiun," ujarnya membuatku kaget, apa Mariyam seorang muslim?
Dia menatapku dan tersenyum, ”Lana, ayahku meninggal, kau tahu dimana masjid?”

Aku tertegun sejenak, lalu bergegas mengantarnya ke masjid, dia mengerjakan sholat dzuhur, dia bersujud sangat lama, dan saat aku shalat aku mendengarnya terisak-isak. Aku tak bisa berkata apa-apa, kini dia yatim, sama sepertiku. Ayahku meninggal karena kecelakaan. Usai sholat aku menawarkan diri untuk mendengar ceritanya, dia bercerita tentang dunianya, dan sambil tersenyum.
"Alhamdulillah, Allah swt memanggil ayahku ketika ayah sedang selesai shalat. Betapa Allah mencintainya," Matanya berkaca-kaca, aku tidak mengerti mengapa dia malah bersyukur saat ayahnya tiada, padahal dulu aku menangis meronta-ronta tidak mau makan selama berhari-hari. "Kami mualaf, Lana, dan banyak keluarga dari kampung halaman kami yang menolak kami..." Lana melanjutkan ceritanya.

Sejak dua tahun lalu dia tidak pernah bertemu lagi dengan ayahnya dan hari ini dia mendapati kabar ayahnya meninggal karena penyakit yang dideritanya. Ibunya meninggal saat melahirkan Mariyam, kedua kakaknya merantau ke negeri orang untuk menjadi TKI, namun yang satu dinyatakan meninggal karena penyiksaan dan yang satu lagi sudah lama tidak kembali. Maryam tinggal bersama ayahnya, sebuah hidayah datang dan mereka memutuskan untuk masuk Islam. Namun banyak penentangan dari pihak keluarga dan masyarakat sekitarnya. Akhirnya ayahnya mengirim Maryam pindah ke kota ini dua tahun silam, tinggal di rumah neneknya. Maryam merasa sangat beruntung bisa ke kota ini karena pendidikan lebih mudah didapat. Dari ceritanya, Maryam adalah anak yang aktif dan pintar, dia senang berdagang untuk membantu keuangan neneknya. Dan dari ceritanya dia tidak pernah menuturkan keluhannya sedikitpun. Maryam mendapat beasiswa di sekolah ini. Dan saat itu aku merasa malu pada diriku sendiri.
"Hari ini kamu berulang tahun ya?" Tanyanya yang membuatku tersentak kaget, bagaimana mungkin dia tahu?
"Tadi aku sedikit mendengar teman-teman berbisik," katanya, dia mengulurkan tangannya, aku balas menjabatnya. "Selamat ulang tahun Lana, semoga syukur dan ikhlas menjadi bagian hidup kita, kaum muslim," Dia tersenyum lebar, bukankah seharusnya aku yang menyemangatinya?
"Te-terimakasih ya," Aku balas tersenyum lebar.
"Dan semoga kamu bisa menemukan masa-masa terindah, semoga tidak hanya di masa SMA ini yang menjadi masa paling indah, melainkan seterusnya,"
Aku menganggung, tercengang.
* * *

Aku mengayuh sepedaku, pikiranku kacau namun ada sedikit pencerahan.
”Lana. Tahukah kau yang ada dipundakmu?” Tanya temanku ini. ”Itu bukanlah beban Lana, tapi itu hartamu. Doa ibumu. Harapan adalah kekuatanmu, katakanlah itu pada dunia Lana! Katakan bahwa kau tidak akan kalah pada keadaan!”

Kini suaranya terdengar jauh lebih jernih.
Aku setuju padanya.

Aku merasa jantungku berpacu lebih cepat memompa darah ke seluruh tubuhku. Membuatnya tubuhku panas bergelora, aku mempercepat ayunan langkahku. Hari ini dunia akan tunduk pada mimpiku, hari ini Tuhan memeluk mimpiku. Mata ibu, tangannya yang kasar, gadis bisu, dan Mariyam. Mereka mengajarkanku satu hal... keikhlasan. Dengan itulah aku akan menikmati masa-masaku.

Dan dunia sambutlah aku. ”AKU SIAP MENJADI AKU!” Aku berteriak sekencang mungkin dalam hati, tekadku bulat.

Temanku tersenyum puas, dia berhasil menaklukanku, dan dia menghilang, menguap... masuk ke dalam hatiku, pikiranku dan telingaku. Bisikan-bisikannya akan selalu ada.
Taukah kau kawan? Apa nama temaku itu? Aku memanggilnya naluri, kata hati.
Ya dialah naluri jiwaku.
Sering kali aku mengelak, walau apa yang dia katakan itu kebenaran.
Tapi kali ini aku bertekad, mendengarkannya dan menurutinya.
Karena naluri adalah bisikan kebenaran.

^*syafiyah*^
[Minggu, 22 November 2009]*

*dengan perubahan

1 komentar:

Shabrina 78 08 mengatakan...

Subhanallah,mm...terinspirasi dari siapa ni ver??

Posting Komentar

akan menyenangkan jika kamu mau menulis pendapatmu xD -ve_isyaasya-