~*Ketika
Cadar Belum Jadi Pilihan *~
.:Sudut Bumi اللَّهِ
19 Oktober 2011:.
الرَّحِيمِ الرَّحْمَنِ اللَّهِ بِسْمِ الرَّجِيْمِ الشََّيْطَانِ مِنَ بِاللِه أَعُوْذُ
Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh
Alhamdulillah..
Alhamdulillahi robbil alamin asholatuwasalamu ashrofil ambiyai’ walmurshalin
ama ba’du ♥
"Dan
demi jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada
jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwannnya. " (Asy Syams: 7-8 )
Duhai sahabatfillah
terkasih, sharing kali ini masih berkaitan dengan cadar dari sumber yang sama
seperti sebelumnya, kali ini yaitu dari Ustadz Kholid Syamhudi, Lc, Insya Allah
disini ana hanya akan menyantumkan 10 Point dari 18 point yang tidak mewajibkan
cadar, karena keterbatasan ini. Semoga dengan share ini kita dapat saling
memahami, Lillahita’ala. Dan membawa kebaikan dunia akhirat. Selamat Membaca ya
SahabatFillah..
***
Pada artikel yang lalu telah
kita sampaikan dalil-dalil para ulama yang mewajibkan cadar bagi wanita.
Sekarang -insya Allah- akan disampaikan dalil-dalil para ulama yang tidak
mewajibkannya.
Pertama, firman Allah,
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang
beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya;
yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman:
“Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (QS. An
Nur: 30,31)
ð Ayat
ini menunjukkan bahwa pada diri wanita ada sesuatu yang terbuka dan mungkin
untuk dilihat. Sehingga Allah memerintahkan untuk menahan pandangan dari
wanita. Dan yang biasa nampak itu yaitu wajah dan kedua telapak tangan. (Lihat
Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 76,77). Semakna dengan ayat tersebut ialah
hadits-hadits yang memerintahkan menahan pandangan dari wanita dan larangan
mengulangi pandangan jika telah terlanjur memandang dengan tidak sengaja. Di
antaranya,
Dari
Abu Said Al Khudri radhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau bersabda, “Janganlah kamu duduk-duduk di jalan”. Maka para Sahabat
berkata, “Kami tidak dapat meninggalkannya, karena merupakan tempat kami untuk
bercakap-cakap.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Jika kalian
enggan (meninggalkan bermajelis di jalan), maka berilah hak jalan.” Sahabat
bertanya, “Apakah hak jalan itu?” Beliau menjawab, “Menundukkan pandangan,
menghilangkan gangguan, menjawab salam, memerintahkan kebaikan dan mencegah
kemungkaran.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad no. 1150, Muslim, Abu Dawud
(4816). Lihat Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah 6/11-13)
Kedua
Juga sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ali radhiallahu ‘anhu,
“Wahai Ali, janganlah engkau turutkan
pandangan (pertama) dengan pandangan (kedua), karena engkau berhak (yakni,
tidak berdosa) pada pandangan (pertama), tetapi tidak berhak pada pandangan
(kedua).” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan lainnya. Dihasankan oleh Syaikh Al
Albani dalam Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 77)
Jarir bin Abdullah berkata,
Aku bertanya kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan tiba-tiba (tidak
sengaja), maka beliau bersabda, “Palingkan pandanganmu.” (HR. Muslim, Abu
Dawud, Tirmidzi, dan lainnya. Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 78)
Al Qadhi ‘Iyadh berkata,
“Para ulama berkata, di sini terdapat hujjah (argumen) bahwa wanita tidak wajib
menutupi wajahnya di jalan, tetapi hal itu adalah sunah yang disukai. Dan yang
wajib bagi laki-laki ialah menahan pandangan dari wanita dalam segala keadaan,
kecuali untuk tujuan yang syar’i (dibenarkan agama). Hal itu disebutkan oleh
Muhyiddin An Nawawi, dan beliau tidak menambahinya.” (Adab Asy Syar’iyyah I/187,
karya Ibnu Muflih. Lihat: Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 77).
Kelima
Bahwa dia menjadi istri Sa’d
bin Khaulah, lalu Sa’d wafat pada haji wada’, dan dia seorang Badari (sahabat
yang ikut perang Badar). Lalu Subai’ah binti Al Harits melahirkan kandungannya
sebelum selesai 4 bulan 10 hari dari wafat suaminya. Kemudian Abu As Sanabil
(yakni Ibnu Ba’kak) menemuinya ketika nifasnya telah selesai, dan dia telah
memakai celak mata (dan memakai inai pada kuku tangan, dan bersip-siap). Lalu
Abu As Sanabil berkata kepadanya, “Jangan terburu-buru (atau kalimat
semacamnya) mungkin engkau menghendaki nikah…” (HR. Ahmad. Dishahihkan Al
Albani dalam Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 69. Asal kisah riwayat Bukhari
dan Muslim)
Hadits ini nyata
menunjukkan, bahwa kedua telapak tangan dan wajah atau mata bukanlah aurat pada
kebiasaan para wanita sahabat. Karena jika merupakan aurat yang harus ditutup,
tentulah Subai’ah tidak boleh menampakkannya di hadapan Abu As Sanabil.
Peristiwa ini nyata terjadi setelah kewajiban jilbab (hijab), yaitu setelah
haji wada’, tahun 10 H. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 69).
Keempat, Diriwayatkan dari
‘Aisyah radhiallahu ‘anha, dia berkata,
Bahwa Asma’ bintu Abi Bakar
menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan memakai pakaian tipis.
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpaling darinya dan berkata,
“Wahai Asma’, sesungguhnya seorang wanita itu, jika telah mendapatkan haidh,
tidak pantas terlihat dari dirinya kecuali ini dan ini”, beliau menunjuk wajahnya
dan kedua telapak tangannya. (HR. Abu Dawud, Thabarani, Ibnu ‘Adi, dari jalan
Sa’id bin Basyir dari Qatadah dari Khalid bin Duraik dari ‘Aisyah. Ibnu ‘Adi
berkata, “Terkadang Khalid mengatakan dari Ummu Salamah, sebagai ganti dari
‘Aisyah.” Sanad hadits ini lemah, sebagaimana Abu Dawud berkata setelah
meriwayatkannya, “Hadits ini mursal, Khalid bin Duraik tidak bertemu ‘Aisyah
radhiallahu ‘anha. Demikian juga perawi bernama Sa’id bin Basyir lemah.”)
Hadits ini sesungguhnya
lemah, tetapi Syaikh Al Albani menyatakan bahwa hadits ini dikuatkan dengan
beberapa penguat (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 58).
(1) Riwayat mursal shahih
dari Qatadah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Jika seorang
gadis kecil telah haidh, maka tidak pantas terlihat sesuatu darinya kecuali
wajahnya dan tangannya sampai pergelangan.” (Tetapi kemungkinan riwayat ini
sama sanadnya dengan riwayat di atas, yaitu Qatadah mendapatkan hadits ini dari
Khalid bin Duraik, sehingga tidak dapat menguatkan. Wallahu a’lam).
(2) Diriwayatkan oleh
Thabrani dan Al Baihaqi dari jalan Ibnu Luhai’ah, dari ‘Iyadh bin Abdullah,
bahwa dia mendengar Ibrahim bin ‘Ubaid bin Rifa’ah Al Anshari menceritakan dari
bapaknya, aku menyangka dari Asma’ binti ‘Umais yang berkata, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam masuk menemui ‘Aisyah, dan di dekat ‘Aisyah ada saudarinya,
yaitu Asma bintu Abi Bakar. Asma memakai pakaian buatan Syam yang longgar
lengan bajunya. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya,
beliau bangkit lalu keluar. Maka ‘Aisyah berkata kepada Asma, “Menyingkirlah
engkau, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melihat
perkara yang tidak beliau sukai. Maka Asma menyingkir. Kemudian Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk, lalu Aisyah bertanya kenapa beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit (dan keluar). Maka beliau menjawab,
“Tidakkah engkau melihat keadaan Asma, sesungguhnya seorang wanita muslimah itu
tidak boleh tampak darinya kecuali ini dan ini”, lalu beliau memegangi kedua lengan
bajunya dan menutupkan pada kedua telapak tangannya, sehingga yang nampak
hanyalah jari-jarinya, kemudian meletakkan kedua telapak tangannya pada kedua
pelipisnya sehingga yang nampak hanyalah wajahnya.”
Al-Baihaqi menyatakan,
“Sanadnya dha’if.” Kelemahan hadits ini karena perawi yang bernama Ibnu
Luhai’ah sering keliru setelah menceritakan dengan hafalannya, yang sebelumnya
dia seorang yang utama dan terpercaya ketika menceritakan dengan bukunya.
Syaikh Al Albani menyatakan bahwa haditsnya ini dapat dijadikan penguat. (Lihat
Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 59).
(3) Pendapat sebagian
sahabat (seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Umar) yang menjelaskan perhiasan yang
biasa nampak yang boleh tidak ditutup, yaitu wajah dan telapak tangan. Lihat
Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 59).
Kelima, Jabir bin Abdillah
berkata,
Aku menghadiri shalat hari
‘ied bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau memulai dengan
shalat sebelum khutbah, dengan tanpa azan dan tanpa iqamat. Kemudian beliau
bersandar pada Bilal, memerintahkan untuk bertakwa kepada Allah dan mendorong
untuk menaati-Nya. Beliau menasihati dan mengingatkan orang banyak. Kemudian
beliau berlalu sampai mendatangi para wanita, lalu beliau menasihati dan
mengingatkan mereka. Beliau bersabda, “Hendaklah kamu bersedekah, karena
mayoritas kamu adalah bahan bakar neraka Jahannam!” Maka berdirilah seorang
wanita dari tengah-tengah mereka, yang pipinya merah kehitam-hitaman, lalu
bertanya, “Kenapa wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Karena kamu banyak mengeluh
dan mengingkari (kebaikan) suami.” Maka para wanita itu mulai bersedekah dengan
perhiasan mereka, yang berupa giwang dan cincin, mereka melemparkan pada kain
Bilal. (HSR Muslim, dan lainnya)
Hadits ini jelas menunjukkan
wajah wanita bukan aurat, yakni bolehnya wanita membuka wajah. Sebab jika
tidak, pastilah Jabir tidak dapat menyebutkan bahwa wanita itu pipinya merah
kehitam-hitaman. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 59) (Tetapi dalil
ini dibantah dengan penjelasan bahwa hadits ini yang mahfudz (shahih) dengan
lafazh min safilatin nisa’ (dari wanita-wanita rendah) sebagai ganti lafazh
sithatin nisa’ (dari wanita dari tengah-tengah). Yang hal itu mengisyaratkan
wanita tersebut adalah budak, sedangkan budak tidak wajib menutupi wajah. Atau kejadian
ini sebelum turunnya ayat hijab. Wallahu a’lam).
Keenam, Ibnu Abbas berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memboncengkan Al Fadhl bin Abbas… kemudian beliau berhenti untuk memberi fatwa
kepada orang banyak. Datanglah seorang wanita yang cantik dari suku Khats’am
meminta fatwa kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mulailah Al
Fadhl melihat wanita tersebut, dan kecantikannya mengagumkannya. Nabi ‘alaihi
wa sallam pun berpaling, tetapi Al Fadhl tetap melihatnya. Maka nabi ‘alaihi wa
sallam memundurkan tangannya dan memegang dagu Al Fadhl, kemudian memalingkan
wajah Al Fadhl dari melihatnya…” (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya)
Kisah ini juga diriwayatkan
oleh Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, dan dia menyebutkan bahwa permintaan
fatwa itu terjadi di tempat penyembelihan kurban, setelah Rasulullah
melemparkan jumrah, lalu dia menambahkan, “Maka Abbas berkata kepada Rasulullah
‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, kenapa anda memalingkan leher anak
pamanmu?” Beliau menjawab, “Aku melihat seorang pemuda dan seorang pemudi,
sehingga aku tidak merasa aman dari syaitan (menggoda) keduanya” (HR. Tirmidzi,
Ahmad, dan lainnya. Syaikh Al Albani menyatakan, “Sanadnya bagus”)
Dengan ini berarti, bahwa
peristiwa tersebut terjadi setelah tahallul (selesai) dari ihram, sehingga
wanita tersebut bukanlah muhrimah (wanita yang sedang berihram, dengan hajji
atau umrah).
Ibnu Hazm rahimahullah
berkata, “Seandainya wajah wanita merupakan aurat yang wajib ditutupi, tidaklah
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan wanita tersebut membuka
wajahnya di hadapan orang banyak. Pastilah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan wanita itu untuk menurunkan (jilbabnya) dari atas (kepala untuk
menutupi wajah). Dan seandainya wajahnya tertutup, tentulah Ibnu Abbas tidak
mengetahui wanita itu cantik atau buruk.”
Ibnu Baththal rahimahullah
mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat perintah untuk menahan pandangan
karena khawatir fitnah. Konsekuensinya jika aman dari fitnah, maka tidak
terlarang. Hal itu dikuatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
memalingkan wajah Al Fadhl sampai dia menajamkan pandangan, karena kekagumannya
terhadap wanita tersebut, sehingga beliau khawatir fitnah menimpanya. Di dalam
hadits ini juga terdapat (dalil) pertarungan watak dasar manusia terhadapnya
serta kelemahan manusia dari kecenderungan dan kekaguman terhadap wanita. Juga
terdapat (dalil) bahwa istri-istri kaum mukminin tidak wajib berhijab
sebagaimana istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena (kalau
memang hal itu) wajib bagi seluruh wanita, pastilah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkan kepada wanita dari suku Khats’am tersebut untuk menutupi
(dirinya) dan tidak memalingkan wajah Al Fadhl. Di dalamnya juga terdapat
(dalil) bahwa menutup wajah wanita tidak wajib, Para ulama berijma’ bahwa
wanita boleh menampakkan wajahnya ketika shalat, walaupun dilihat oleh
laki-laki asing.” (Fathu Al-Bari XI/8)
Perkataan Ibnu Baththal
rahimahullah tersebut dibantah oleh Al Hafizh Ibnu Hajar, dengan alasan bahwa
wanita dari suku Khats’am tersebut muhrimah (wanita yang sedang berihram).
Tetapi Syaikh Al Albani menyatakan, bahwa yang benar wanita itu bukan muhrimah
(wanita yang sedang berihram), sebagaimana penjelasan di atas. Seandainya
wanita itu muhrimah (wanita yang sedang berihram), maka pendapat Ibnu Baththal
itu tetap kuat. Karena wanita muhrimah itu boleh melabuhkan jilbabnya ke
wajahnya di hadapan laki-laki asing, sebagaimana hadits tentang hal ini. (Lihat
haditsnya pada edisi terdahulu, pada dalil ke 13 yang mewajibkan cadar). Maka
hadits ini menunjukkan bahwa cadar tidaklah wajib bagi wanita, walaupun dia
memiliki wajah yang cantik, tetapi hukumnya adalah disukai (sunah). Peristiwa
ini terjadi di akhir kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di hadapan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga hukumnya muhkam (tetap; tidak
dihapus). (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 61-64).
Ketujuh, Sahl bin Sa’d
berkata,
“Bahwa seorang wanita datang kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, saya datang
untuk menghibahkan diriku kepada Anda.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam melihatnya, beliau menaikkan dan menurunkan pandangan kepadanya. Lalu
beliau menundukkan kepalanya……” (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya)
Al Hafizh Ibnu Hajar
rahimahullah menyatakan, “Di dalam hadits ini juga terdapat (dalil) bolehnya
memperhatikan kecantikan seorang wanita karena berkehendak menikahinya… tetapi
(pemahaman) ini terbantah dengan anggapan bahwa hal itu khusus bagi Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam karena beliau ma’shum, dan yang telah menjadi
kesimpulan kami, bahwa tidak haram bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk melihat wanita mukmin yang bukan mahram, ini berbeda dengan selain
beliau. Sedangkan Ibnul ‘Arabi menempuh cara lain dalam menjawab hal tersebut,
dia mengatakan, “Kemungkinan hal itu sebelum (kewajiban) hijab, atau setelahnya
tetapi dia menyelubungi dirinya.” Tetapi rangkaian hadits ini jauh dari apa
yang dia katakan.” (Fathul Bari IX/210).
Kedelapan, ‘Aisyah
radhiallahu ‘anha berkata,
“Dahulu wanita-wanita mukminah biasa
menghadiri shalat subuh bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka menutupi tubuh (mereka) dengan selimut. Kemudian (mereka) kembali ke
rumah-rumah mereka ketika telah menyelesaikan shalat. Tidak ada seorang pun
mengenal mereka karena gelap.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat lain,
“Dan sebagian kami tidak mengenal wajah yang
lain.” (HR. Abu Ya’la di dalam Musnad-nya. Dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Jilbab
Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 66)
Dari perkataan ‘Aisyah,
“Tidak ada seorangpun mengenal mereka karena gelap.” dapat dipahami, jika tidak
gelap niscaya dikenali, sedangkan mereka dikenali -menurut kebiasaan- dari
wajahnya yang terbuka. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 65).
Kesembilan, ketika Fatimah
binti Qais dicerai thalaq tiga oleh suaminya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengutus seseorang kepadanya memerintahkan agar dia ber-’iddah di rumah
Ummu Syuraik. Tetapi kemudian beliau mengutus seseorang kepadanya lagi dengan
menyatakan,
“Bahwa Ummu Syuraik biasa didatangi oleh
orang-orang Muhajirin yang pertama. Maka hendaklah engkau pergi ke (rumah) Ibnu
Ummi Maktum yang buta, karena jika engkau melepaskan khimar (kerudung, penutup
kepala) dia tidak akan melihatmu. Fathimah binti Qais pergi kepadanya…” (HR.
Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa
wajah bukan aurat, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan
Fathimah binti Qais dengan memakai khimar dilihat oleh laki-laki. Hal ini
menunjukkan bahwa wajahnya tidak wajib ditutup, sebagaimana kewajiban menutup
kepalanya. Tetapi karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam khawatir dia
melepaskan khimarnya (kerudung), sehingga akan nampak apa yang harus ditutupi,
maka beliau memerintahkannya dengan yang lebih selamat untuknya; yaitu
berpindah ke rumah Ibnu Ummi Maktum yang buta. Karena dia tidak akan melihatnya
jika Fathimah binti Qais melepaskan khimar. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al
Muslimah, hal. 65).
Peristiwa ini terjadi di
akhir kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena Fathimah binti Qais
menyebutkan bahwa setelah habis ‘iddahnya dia mendengar Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menceritakan kisah tentang Dajjal dari Tamim Ad Dari yang
baru masuk Islam dari Nasrani. Sedangkan Tamim masuk Islam tahun 9 H. Adapun
ayat jilbab turun tahun 3 H atau 5 H, sehingga kejadian ini setelah adanya
kewajiban berjilbab. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 66-67).
Kesepuluh, Abdurrahman bin
‘Abis,
“Saya mendegar Ibnu Abbas ditanya, “Apakah
Anda (pernah) menghadiri (shalat) ‘ied bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam?” Dia menjawab, “Ya, dan jika bukan karena posisiku (umurku) yang masih
kecil, niscaya saya tidak menyaksikannya. (Rasulullah keluar) sampai mendatangi
tanda yang ada di dekat rumah Katsir bin Ash Shalt, lalu beliau shalat,
kemudian berkhutbah. Lalu beliau bersama Bilal mendatangi para wanita, kemudian
menasihati mereka, mengingatkan mereka, dan memerintahkan mereka untuk
bersedekah. Maka aku lihat para wanita mengulurkan tangan mereka melemparkannya
(cincin, dan lainnya sebagai sedekaah) ke kain Bilal. Kemudian Beliau dan Bilal
pulang ke rumahnya.” (HR. Bukhari, Abu Daud, Nasai, dan lainnya. Lafazh hadits
ini riwayat Bukhari dalam Kitab Jum’ah)
Ibnu Hazm rahimahullah
berkata, “Inilah Ibnu Abbas -di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam- melihat tangan para wanita, maka benarlah bahwa tangan dan wajah wanita
bukan aurat, adapun selainnya wajib ditutup.”
Pengambilan dalil ini tidak
dapat dibantah dengan perkataan, kemungkinan kejadian ini sebelum turunnya ayat
jilbab, karena peristiwa ini terjadi setelah turunnya ayat jilbab. Dengan
dalil, Imam Ahmad meriwayatkan (dengan tambahan) Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam membacakan ayat bai’atun nisa’ (surat Al Mumtahanah: 12), padahal ayat
ini turun pada Fathu Makkah, tahun 8 H, sebagaimana perkataan Muqatil.
Sedangkan perintah jilbab (hijab) turun tahun 3 H atau 5 H ketika Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Zainab binti Jahsy (Lihat Jilbab Al
Mar’ah Al Muslimah, hal. 67, 75).
***
Wallahu a’lam
bishshawwab.
Be Positif, Proaktif,
dan Produktif!
Wassalamualaykum
Warahmatullah Wabarakatuh,
~*Aisyah Asyafiyah*~