Saya mahasiswa psikologi yang ngalor-ngidul di Semarang, tidak punya televisi, dan malas nonton Tv. Tapi, ketika di Jakarta, saya suka sekali nonton televisi sebab menyuguhkan chanel-chanel luar yang kaya akan pengetahuan. Seperti National Geoghraphy, FOX, WaltDisney, Sport, dan banyak lagi. Salah satu acara yang saya suka selain sinetron Ghost Whisper adalah “Brain Games”. Gak asing kan namanya? Tapi ini bukan menyuguhkan game-game yang mengasah otak untuk icebreaker, melainkan acara ini menyuguhkan... mmm.. kalau bahasa saya : “bagaimana otak mempermainkan kita”.
Apa yang kita lihat-rasa-dengar dan kita yakini itu benar, sebab keterbatasan otak dan indra nyatanya bisa saja adalah salah-bohong-dan... menipu. Banyak sekali eksperimen-eksperimen di Brain Games ini yang memperkuat statement saya diatas. Hal ini juga semakin menegaskan bahwa kita manusia, manusia yang sempurna dengan ketidaksempurnaannya. Lengkap. Alhamdulillah. Tapi, jangan dikira “dipermainkan otak” adalah hal yang melulu negatif, tidak juga.. seperti kata sebelumnya : ia melengkapi. Ada kalanya manusia butuh fokus dan adakalanya tidak perlu fokus, keterbatasan ini-lah yang membantu kita untuk menikmati hidup yang harus dinikmati. Our weakness is our power..!
Nah, menilik judul tulisan diatas “Zahir” yang berarti “tampak”. Jika ada yang tahu buku Zahir Paulo Coelho, tentu bukan ini yang mau saya bicarakan hehe. Saya jadi teringat perjalanan saya ke Jakarta menaiki kereta malam, seorang laki-laki bule duduk dihadapan saya dengan seorang wanita yang... yah, apa ya jika boleh dikatakan seleranya para bule. (Aih, kesimpulan dari mana ini hehe~). Nah, selera baju saya ini kalau kata orang-orang (dan kata saya) sih InsyaAllah syar’i dengan warna ungu lavender yang cantik dan jilbab lebar yang menutup tangan, plus jaket jeans gaul!
Sebab saya duduk sendiri dan lupa berat untuk membawa buku, saya ambillah al-Quran yang belum selesai beberapa ayat lagi. Dan, biasanya orang bule itu tertarik sama Islam, jadi memang juga diniatkan untuk “opening conversation” huehehe. Yup! Benar saja, beberapa ayat saya baca dengan suara pelaaan sekali, dia sudah bisik-bisik dengan temennya itu tentang nabi Musa dan nabi Isa (Mungkin dia kira saya gak bisa bahasa inggris, ya.. memang tidak bisa sih haha). Selesai membacanya saya bilang, “Sorry kalau saya mengganggu” Trus dia bilang kalau dirinya muslim. Wah, asyik nih. Bicaralah dirinya kesana-kemari tentang Islam, dan salah satu perkataannya adalah : “Your style is fanatic”. Halis saya naik, ya dia bilang walau dia gak pakai jenggot dan style-nya kayak gitu dia adalah Muslim sejak kecil dan dia tahu islam. (Btw, “Dibilang fanatik, rasanya gimana ve?” Seneng dong~ Sayang seharusnya malam itu saya pakai warna hitam dan purdah sekaligus, mungkin nanti dibilang “Your Style is Teroris” tuh. Haha. #Ketawa Miris --,--) Yup.. gak usah diceritakan sebab capek ngetiknya tentang betapa banyaknya diskusi yang dia sampaikan, tapi cukup saya “menerima jawaban” dengan melihatnya mesra-mesraan dengan teman perempuan seksi yang bukan mahramnya itu, di depan saya. (**Tahu dari mana kalau dia bukan mahram? Ya dia bilang sendiri, ini temennya yang dia temui “di jalan”, “info sahih” kan? hehe)
Yup, yang perlu kita ingat adalah “Ilmu-Amal-Akhlak”. Ada orang yang akhlaknya super kece, baiknya gak ketulungan, hobi menolong dan suka membantu, murah senyum pula, tapi olalala... pas ditanya ilmu agama, tetoooot! Pincang!. Ada orang yang amalan rutinitas ibadahnya luar biasa, pakaiannya beeeh syari’ sekali tapi pas bicara kiiit... nyelekit, tetangga sebelah duh tak dikenal, senyum? Jaraaaang banget!!. Sama aja deh.. pincang! Ada juga yang ilmu-nya tahu, akhlaknya lumayan, tapi... amalan hariannya jauh dari syariat Islam, kepalanya aja yang seperti perpustakaan, diambil kalau butuh dan cuma untuk sekedar “cukup tahu aja”, dan tingkah lakunya lebih mirip lampu disko, kelap-kelip dengan berbagai bentuk kerugian. Ini sama aja buatku.. sama-sama pincang!
Dan nyatanya... kita semua pincang kok! Gak usah sok pede dengan bilang “Enak aja, gue gak pincang, ilmu gue banyak, amal gue baik, akhlak gue mulia” Apa dirimu lupa, itu masuknya ke arah sombong loooh~ Rasulullah aja yang udah dijamin masuk surga, shalatnya aja sampai kakinya bengkak-bengkak, MasyaAllah. Sekali lagi, beliau yang DIJAMIN MASUK SURGA, lah kita berani jamin gak bisa nyium bau surga dari miliaran kilometer?. Menjamin diri kita tetap taat dalam ketaatan sampai akhir hayat, juga gak bisa. Sudahlah, kita sempurna dengan ketidaksempurnaan kita sebagai manusia, kita banyak yang pincang! (KITA juga berarti : saya)
Perkara yang Zahir atau yang tampak secara fisik, bisa jadi memang menandakan ketaatan kepada-Nya, saya tekankan BISA JADI, sebab yang melihat adalah mata ini dan yang tahu hati-hati itu yang Cuma Allah.
Coba deh pikirkan betapa banyak diantara mereka yang sesungguhnya melewati kecaman dan tantangan luar biasa, kecemasan dan ketakutan, sebelum akhirnya memutuskan untuk bejilbab yang panjang, memelihara jenggot atau tidak isbal demi mengharapkan cinta Allah, bukan pandangan manusia. Saya jadi ingat teman saya, bagaimana ia sempat dikucilkan, dijauhi bahkan oleh sesama muslim dan muslimah sebab keputusannya memakai penutup wajah, dan seringnya mengupdate ilmu-ilmu islam. Yang saya tangkap adalah upaya keras untuk menjadi taat, menjadi muslimah yang diridhai Allah.
Kita memang tidak dihadapkan oleh penguasa yang dzalim, yang akan menindih tubuh kita dengan batu puluhan kilogram atau melempar ke dalam kobaran api jika mereka yang menyerukan “Ashadu’alaa ilahailallah wa ashadu ana muhammad rasulullah”. Tapi, jangan-jangan kita sering menjadi teman yang dzalim kepada teman kita sendiri yang sedang belajar untuk –sebut saja- “meminimalkan stadium pincangnya”...? Kita memang tidak boleh langsung membunuh laki-laki yang menyibakkan jilbab wanita muslimah sebagai bentuk perendahannya, seperti kisah zaman dulu itu. Tapi... jangan-jangan kita seringkali langsung “membunuh perasaan/hati orang” yang tidak sengaja atau sengaja merendahkan muslim-muslimah yang mencoba untuk ta’at dengan syariat.
Mungkin kita perlu belajar bagaimana agar “otak tidak mempermainkan kita” dalam melakukan penilaian kepada orang lain --btw, sesungguhnya berhak-kah kita menilai orang lain? Yang berujung pada “Sok Tahu”...?—bagaimana kalau saya ubah bahasanya? “Mungkin kita perlu belajar bagaimana agar “otak tidak mempermainkan kita” dalam bermuamalah dan bergaul dengan orang lain..?”
Mungkin yang pertama adalah, minimalkan harapan... tidak dipungkiri orang yang seringkali “mengupdate hal-hal islami” diharapkan memang memahami dan mengamalkan “islam”, maka cukup tangkap yang “islam-islam” itu saja darinya, ketika ada yang dirasa tidak islami darinya ya tidak usah ditangkap, ingat itu bukan islam, jangan campur aduk. Ini berlaku untuk SEMUA ORANG. Kalau kata Ahmad Deedat, yang kurang lebih... “jangan lihat islam dari orangnya tapi lihat Islam dari Islam-nya.” Ingat juga.. di zaman Rasulullah, sang tauladan terkeren, yang potongan zahir fisiknya seperti rasululullah aja banyak juga tuh yang munafik dan tukang adu domba, zaman-zaman kita juga banyak yang zahirnya sesuai syariat tapi Cuma dipakai untuk jadi topeng, berkamuflase menghancurkan syariat itu sendiri, banyaklah kasusnya!. (So.. kita minta saja kepada Allah semoga kita tidak dijadikan golongan merugi dan munafik dan tidak dipertemukan atau kena tipu orang merugi dan munafik. Haha. )
Mungkin yang perlu sama-sama kita ingat adalah... yang mencoba “ta’at” adalah manusia, dan yang menyindir “keta’atan” atau “ketidaktaatan” orang lain juga adalah manusia. Manusia adalah hamba, dan manusia seringkali khilaf dan lalai. Manusia punya hati yang semoga yang ta’at semakin ta’at, dan yang belum taat dimudahkan untuk mendapatkan hidayah.
Semoga saja kita bukan menjadi pelaku “Brain Games” yang membuat otak orang lain merasa tertipu, sebab melihat sesuatu yang tidak seperti yang terlihat. Semoga akhlak yang diupayakan untuk mulia, amal yang diupayakan untuk tidak mendzalimi, dan ilmu yang diupayakan untuk mumpuni dapat mendatangkan barakah dan keridhaan-Nya.
Semoga tidak hanya jilbab kita yang panjang tapi doa kita dan upaya belajar memperbaiki diri juga panjang.
Peace, Love and Syari’